Sarimo
Sarimo
adalah anak sulung dari sebuah keluarga muslim yang konon dilahirkan pada
tanggal 12 Agustus 1902 di dusun Gapuk, desa Genukwatu, Ngoro, Jombang.
Ayahandanya dikenal dengan sebutan mbah Gapuk dan Sukiyam adalah nama ibundanya
(yang kemudian hari wafat di Semarang). Sarimo bersaudara 5 (lima) orang yaitu:
Sarmin (laki-laki, anak kedua), Sarmi (perempuan, anak ketiga), Sarti
(perempuan, anak keempat), Saminah (perempuan, anak kelima) dan Satiyah
(perempuan, anak keenam atau bungsu).
Sarmin
menikah dan mempunyai beberapa orang anak. Salah seorang anaknya, yang bernama
Soepeno, tinggal bersama Sarimo di Pati. Anak-anak Sarmin yang lain, tidak
diketahui ceritanya.
Sarmi
menikah tetapi tidak mempunyai anak, dan tidak mengangkat anak. Sarmi kemudian
ikut tinggal di Pati bersama Keluarga Sarimo.
Sarti
menikah dan mempunyai beberapa orang anak. Radin, salah seorang anak Sarti,
ikut tinggal bersama Kel. Widirjo Martham dan sempat bekerja ikut Widirjo M. di
kantor perburuhan Jl. Perak Barat 121 Surabaya. Berhubung Kel. Widirjo M.
pindah domisili ke Bandung, Jawa Barat, Radin kemudian ikut tinggal bersama
Kel. Errentini di Jl. Pucang Sawit 52 Surabaya. Radin menikahi Ginah (tetangga
ibu dari mbok Kus, ibu Dji’an) dan mempunyai seorang anak perempuan yang diberi
nama Suprihatin, yang lahir di Sumatera karena Kel. Radin menjadi transmigran
di sana.
Saminah
menikah dengan seorang Letnan AD bernama Pramoedji dan dikaruniai seorang anak
laki-laki bernama Agung Binarko (mas Koko) dan berdomisili di Semarang.
Satiyah tidak diketahui cerita
kehidupannya.
Sarimo
menamatkan sekolah desa tiga tahun di dusunnya, lalu melanjutkan ke sekolah “ongko
loro” (sekolah rakyat untuk bumiputera) di Ngoro dari kelas IV sampai lulus
kelas V. Sarimo tidak termasuk anak yang soleh atau taat beribadah, sebab setiap
kali bubaran sekolah dia tidak pernah mau pulang ke rumah sebelum waktu sholat
Isya lewat. Setiap pagi Sarimo berangkat ke sekolah sebelum Subuh, yang dari
rumahnya berjarak sekitar 10 km.
Sarimo
senang bermain di dekat rumah salah seorang guru “ongko loro” yang beragama
Kristen yang bernama pak Pramu (ayahanda pak Suryandaru, seorang dosen UNDIP di
Semarang). Suatu saat Sarimo ditanya oleh pak Pramu, “Tiap kali bubaran
sekolah, mengapa kowe tidak segera pulang ke rumah?” Sarimo menjawab, “Saya pulang
ke rumah setelah waktu Isya lewat, nDoro.” (tampaknya Sarimo enggan sholat). Pernah
pak Pramu menawari Sarimo apa mau ikut (tinggal bersamanya). Jawab si anak, “Mau.”
Di
tempat pak Pramulah, untuk pertama kalinya Sarimo berkenalan dengan kekristenan
(tetapi tidak diketahui kapan Sarimo dibaptis dan menjadi orang Kristen).
Setelah lulus sekolah “ongko loro” pak Pramu kembali bertanya, “Kowe mau
bekerja atau meneruskan sekolah?” (sebenarnya pak Pramu yang akan menanggung
semua biaya sekolah Sarimo andaikata dia mau). Jawab Sarimo, “Saya ingin bersekolah.”
Tetapi kemudian Sarimo menolak karena sekolah yang ditawarkan pak Pramu
letaknya ada di Mojowarno (sekolah perawat di RS Kristen Mojowarno yang letaknya
memang tidak jauh dari rumahnya), yang mungkin saja karena dia khawatir
ketahuan oleh keluarganya yang muslim.
Suatu
hari ketika Sarimo terlambat pulang, ibundanya mencari-cari dan akhirnya didapatinya
si anak berada di rumah pak Pramu di Ngoro. Tetapi Sarimo tidak mau diajak
pulang oleh ibundanya. Untunglah pak Pramu berhasil membujuk dan meyakinkan ibunda
Sarimo yang berkenan memberi ijin Sarimo untuk mendaftar ke sekolah perawat di
Kelet (utara Tayu/Juwana).
Sarimo
dibekali sepucuk surat oleh pak Pramu agar diserahkan kepada Kepala RS Kelet, orang
Jerman bernama Master/Dokter Ranberg (?), yang isinya mungkin surat keterangan
agar si pembawa surat diterima sebagai siswa di sekolah perawat situ. Singkat cerita
Sarimo diterima dan menjadi siswa. Setelah lulus dari sekolah, Sarimo diterima bekerja
di RS Kelet (sudah dibaptis dan menjadi Kristen). Di sini Sarimo bertemu dan
berkenalan dengan seorang gadis bernama Rabisah (waktu itu juga bekerja di RS
yang sama, entah sebagai apa).
Setelah
beberapa waktu berkenalan, Sarimo melamar Rabisah. Lamarannya diterima dan
akhirnya keduanya menikah secara Kristen di Kedung Penjalin, Jepara.
Adalah
Soemartoadi (paklik Rabisah) yang membujuk Sarimo keluar dari pekerjaannya di
RS Kelet lalu mengajaknya pindah ke Semarang. Sarimo setuju dan pasutri itu
lantas boyong ke Semarang. Sarimo sempat magang sebelum akhirnya diterima
bekerja di CBZ (Centrale
Burgerlijke Ziekeninrichting) Semarang, sekarang RSUD Dr. Kariadi. Di
sini Sarimo mendapat kesempatan untuk menambah pengetahuannya tentang cara
meramu/meracik obat untuk berbagai jenis penyakit dan pengetahuan tersebut berguna
baginya ketika dia melamar pekerjaan di perusahaan lain nantinya.
Pada
tanggal 9 Maret 1926 lahirlah putri pertama mereka di Semarang yang diberi nama
Soemarwati.
Tidak
diketahui secara pasti kapan tepatnya Sarimo keluar dari pekerjaannya di CBZ Semarang,
dan melamar ke PG (Pabrik Gula) Langse yang letaknya di sebelah barat Pati.
Yang jelas, Sarimo diberitahu pakliknya, Soemartoadi, bahwa PG Langse sedang
membutuhkan tenaga perawat karena ada pegawainya yang mengundurkan diri. Lamaran
Sarimo diterima. Di PG Langse, Sarimo digaji 100 Gulden dan mendapat rumah
dinas. Di situlah awal kehidupan Sarimo membaik dan berkecukupan karena bisa punya
kuda tunggangan, sepeda Fongers buatan Belanda, bedil, kuda & dokarnya (yang
waktu itu dikusiri oleh Soejono, ayahanda Warsono). Sarimo gemar bermain
sepakbola dan mahir memainkan alat musik biola. Waktu itu Soejono tinggal
bersama Kel. Sarimo di Langse bahkan sempat dia belajar bahasa Belanda
bersama-sama di Pati.
Di
Langse, pada tanggal 25 November 1928 lahirlah putri kedua mereka yang diberi
nama Christiani.
Pada
tahun 1933, dunia dilanda krisis ekonomi yang parah, yang dikenal dengan masa Malaise.
Dampak krisis, PG Langse tutup dan pailit, Sarimo hanya diberi uang tunggu dan
tidak mendapat uang pesangon bahkan harus keluar dari rumah dinas Perusahaan, padahal
Rabisah sedang mengandung anak yang ketiga.
Hal
itu memaksa Sarimo pindah ke rumah sewa di Jl. Prenggan Pati. Berhubung Rabisah
tidak ingin melahirkan anak di rumah sewa itu, Sarimo kembali mencari tempat
tinggal yang baru, dan akhirnya dia membeli rumah di Jl. Dosoman kanal
(kemudian hari menjadi Jl. Dosoman No. 65), seharga 250 Gulden yang merupakan
tabungan dan hasil menjual beberapa harta bendanya. Pada waktu dibeli, rumah itu
baru setengah jadi (dapur dan kamar mandi belum ada). Penyelesaian pembangunan
rumah itu dikerjakan oleh pakde Kilam (kakak Rabisah).
Pada
saat yang bersamaan Soewondo, Bupati Pati waktu itu, meresmikan pembukaan rumah
sakit umum baru di Pati dan rumah sakit itu diberi nama seperti namanya, Soewondo
Ziekenhuis. Pucuk dicinta ulam tiba, Sarimo melamar pekerjaan ke RS itu dan Sarimo
diterima bekerja di sana sebagai perawat dan sempat berkenalan dengan seorang
bidan Manado bernama zuster Adolfin.
Di
tempat kerjanya yang baru (Soewondo Ziekenhuis), Sarimo mendapat gaji kurang
dari 30 Gulden per bulan. Uang sebesar itu kurang dan tidak memenuhi syarat
untuk menyekolahkan kedua anaknya (Soemarwati dan Christiani) ke HIS / Hollandsch Inlandsch School
(sekolah setaraf SD zaman Hindia-Belanda untuk bumiputera), terlebih lagi Sarimo
hanyalah seorang perawat RS lokal dan bukan seorang ambtenaar (pegawai negeri
zaman Hindia-Belanda).
Pada
tanggal 1 Maret 1942 tentara ke-16 Jepang berhasil mendarat di Kragan (sebelah
timur Rembang), Jawa Tengah. Dan mulailah pendudukan atau penjajahan Jepang di
Indonesia. 4 bulan kemudian, tepatnya tanggal 18 Juli 1942 lahirlah putri
keempat atau bungsu dari Kel. Sarimo di Dosoman, Pati yang diberi nama Heru
Wijatsih dan kelahirannya juga dibantu oleh zuster Adolfin.
Pada
masa itu Sarimo berniat mendaftar ke sekolah pembantu dokter (Hojoi) di PURUSARA (PUSAT RUMAH SAKIT RAKYAT) yang dalam
bahasa Jepang disebut “ Chuo Simin Byoing “ (yang dulunya CBZ), tetapi tidak
terlaksana karena Jepang terlanjur menyerah kepada Sekutu setelah Hiroshima dan
Nagasaki dijatuhi bom atom oleh Amerika Serikat pada tanggal 6 dan 9 Agustus
1945.
Setelah Indonesia merdeka (jaman
Republik), Sarimo melanjutkan kariernya sebagai tenaga kesehatan di tempat yang
sama yang sekarang dikelola oleh militer/tentara Republik. Sarimo diberi
pangkat (pada mulanya) Kapten, tetapi setelah rasionalisasi pangkatnya menjadi
Sersan Mayor. Di rumah sakit tentara tersebut, selain mendapat gaji Sarimo juga
mendapat beras, gula, kopi, susu, sarden dll. sehingga kondisi ekonomi keluarga
kembali membaik.
Pemberontakan PKI di Madiun pada 18
September 1948, berakibat pada situasi keamanan di Pati. Terjadi penjarahan
beberapa rumah di Jl. Dosoman oleh massa. Sarimo terpaksa lari menyelamatkan
diri dan ikut bergerilya dengan tentara Republik. Kondisi itu memperburuk
kesehatan Sarimo karena penyakit Diabetesnya menjadi parah. Setelah
pemberontakan bisa dipadamkan oleh Kol. A.H. Nasution, Sarimo keluar dari dinas
ketentaraan sesuai anjuran istrinya, Rabisah dan kembali bekerja sebagai
perawat di RS Soewondo Pati. Hal itu menyebabkan kondisi ekonomi keluarga
menjadi kurang baik karena fasilitasnya tidak sebaik di rumah sakit tentara.
Adalah Ngatinah, anak dari Manloso dan
bik Giyah (pembantu rumah tangga Kel. Sarimo sewaktu masih di Langse), yang
seusia Errentini menderita penyakit frambosia (patek) di sekujur tubuhnya
datang menemui Sarimo di rumah Dosoman. Kondisi Ngatinah sangat memprihatinkan,
selain sakit dia berpakaian goni dan tubuhnya kurus kering. Itulah awal mula
Sarimo menjadi mantri suntik karena dia ‘berani’ menyuntik Ngatinah yang
didasari oleh rasa iba. Cairan yang disuntikkan adalah Neosalvarsan
(Neoarsphenamine) yang sebenarnya adalah cairan anti bakteri yang mengandung arsenik
dari bahan organik yang pada awal abad 20 dipakai secara luas untuk mengobati
penyakit disentri pada babi dan kalkun.
Setelah disuntik, Ngatinah pulang ke
Langse dengan beberapa potong pakaian bekas pemberian Kel. Sarimo. 2 malam
setelah disuntik, Ngatinah menderita sakit di sekujur badannya dan tidak bisa
tidur tetapi keesokan hari semua frambosia/patek di di sekujur badannya mulai
rontok dan merasa lebih baik. Ngatinah kembali ke Dosoman bersama ibunya dan
mendapat suntikan yang kedua dari Sarimo. Sejak itu Ngatinah sembuh total dan
hal itu membuat banyak tetangganya di Langse menjadi heran. Segera tersiar
kabar bahwa di Dosoman ada mantri suntik yang handal. Hahahahaaaa..
Dan ....
banyak orang atau pasien yang disembuhkan dari sakitnya oleh pak mantri Sarimo.
Nama Sarimo menjadi terkenal di seluruh Pati dan hidup seluruh keluarga Sarimo
kembali makmur dan berkecukupan. Tetapi praktek suntik tersebut dilarang oleh
pihak Kabupaten melalui dokter Sadjimin tetapi tidak dihiraukan oleh pak mantri
Sarimo dan tetap berpraktek karena menurut pak mantri dr. Sadjimin tidak
mempunyai wewenang dalam hal itu.
Di satu
sisi, kondisi ekonomi keluarga Sarimo mulai membaik tetapi di sisi yang lain
kondisi kesehatan Sarimo kembali memburuk karena kesibukan dan kurang
istirahat, penyakit diabetesnya menjadi semakin parah. Dan beberapa kali opname
di RS Soewondo. Pada tanggal 17 Oktober 1953, sewaktu opname di RS Soewondo,
Sarimo dibawa pulang ke Dosoman dengan ambulans. Para tetangga mengira bahwa
Sarimo meninggal dunia.. tetapi ternyata Sarimo pulang ke Dosoman karena diminta
oleh istrinya, Rabisah, untuk hadir pada pernikahan Christiani, anak kedua
Sarimo, dengan mempelai pria dari Mojowarno yang bernama Widirjo Martham.
Dua hari
kemudian (19 Oktober 1953), kedua mempelai ditemani oleh Errentini berangkat ke
Surabaya naik kendaraan pribadi dan menginap di rumah Jl. Perak Barat 121.
Rencananya, kedua mempelai hendak diunduh mantu di Mojowarno pada tanggal 23
Oktober 1953 dengan pagelaran wayang kulit. Pada saat yang hampir bersamaan,
keluarga Setyoprajitno dan Soemarwati mengalami kedukaan karena putri kedua
mereka (Puji Retno Wati) meninggal dunia di Dosoman Pati dalam usia 6 bulan
karena sakit mendadak.
Setelah
menderita sakit diabetes selama beberapa lama dan keluar masuk rumah sakit,
tepat pada tanggal 15 Januari 1959 Sarimo wafat di rumah Dosoman dalam usia 56
tahun 5 bulan. Itu tepat seminggu setelah surat pensiun Sarimo keluar, yang
waktu itu pengurusannya dibantu oleh pak Sosro (kakak Widirjo M). Pak Sosro
waktu itu juga membantu pengurusan administrasi pensiun untuk istri Sarimo (Rabisah)
yang menjadi janda, tetapi hal tersebut tidak menjadi masalah karena Sarimo
meninggalkan harta yang cukup banyak buat keluarganya. Karena itu anak-anak
Sarimo tetap bisa melanjutkan pendidikannya (pada tahun 1955 pemerintah
Indonesia menerapkan kebijakan Zanering, yaitu pemotongan nominal ORIE, seribu Rupiah
menjadi satu Rupiah).
Rabisah
Rabisah
dilahirkan di Desa Puluh Jati, Mayong, Kab. Jepara, sebagai anak keempat dari
seorang wanita bernama Sarisih. Anak pertama Sarisih adalah Tasmilah, yang kedua
adalah Kilam dan yang ketiga adalah Karidjah. Ketika suaminya meninggal dunia,
Sarisih terpaksa pindah dan memboyong keempat anaknya ke Kedung Penjalin dengan
hanya berbekal segerobak padi.
Anak-anak
Tasmilah adalah Soemarto (ayah Ismiati), Soejono (ayah Warsono), Soeranti
(perempuan, mempunyai anak 1 dan meninggal dunia), Soelinah (beragama Islam),
Setiti dan Soedarsono (istrinya bidan di Kudus).
Kilam
tidak mempunyai keturunan tetapi mengangkat seorang anak perempuan yang bernama
Sriwahju, yang kemudian menikah dengan keponakan Nyi Kar (Tarman, ayah
Darmadji).
Karidjah
juga tidak mempunyai keturunan tetapi kaya raya. Suaminya adalah seorang Cina
biasa dipanggil dengan nama Babah Din.
Sebelum
bekerja di RS Kelet, Rabisah pernah tinggal (ngenger) di rumah keluarga Mr./Dr.
Ranberg dan banyak memetik pelajaran (hidup) tentang pekerjaan rumah tangga dan
tata krama atau tradisi masyarakat kolonial Belanda.
Rabisah
mempunyai banyak kerabat di Kelet yang pandai berbahasa Belanda.
Pada
tanggal 6 Februari 1973, Rabisah wafat di Dosoman, Pati dalam usia 66 tahun,
dan dimakamkan di sebelah pusara suaminya, Sarimo, di pemakaman Kristen Randu
Kuning, Pati.
Soemarwati
Pada
tanggal 9 Maret 1926, di Semarang lahirlah putri pertama mereka yang diberi
nama Soemarwati. Mengapa diberi nama “Soemarwati”? Pada masa itu nama yang
lazim untuk bayi perempuan adalah Soemiati, Soemini dan semacamnya (berawalan
Soe...). Tetapi seiring waktu dan Soemarwati beranjak remaja, dia kurang senang
dan kesal hati dengan namanya karena menurutnya nama itu terkesan ndesit alias
kampungan..., tidak seperti nama adik-adiknya.
Oleh
ayahandanya, Soemarwati akhirnya dimasukkan ke Schakel School atau sekolah
peralihan/calon guru HIS (setingkat kelas V SD); tetapi kemudian
Soemarwati juga ikut ujian masuk ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Kristen di Surakarta, setaraf SMP di
zaman Hindia-Belanda, dan diterima.
Akhirnya diputuskan oleh Sarimo bahwa
Soemarwati akan disekolahkan di MULO Kristen Surakarta tetapi lagi-lagi timbul
masalah sebab uang Sarimo tidak cukup untuk membiayai Soemarwati bisa
bersekolah di situ mengingat :
1) Sarimo
harus membayar uang asrama anaknya sebesar 10 Gulden, lalu uang saku dll
sekitar 2 Gulden (sebagai perbandingan, waktu itu uang 1 Gulden nilainya sama
dengan harga beras 1 dacin (+/- 62,5 kg); sepotong es lilin pakai susu seharga
1 sen Gulden sementara es lilin tidak pakai susu seharga 0.5 sen Gulden).
Tetapi
toh pada akhirnya Soemarwati bisa bersekolah di MULO Kristen Surakarta karena:
1) Sarimo
menjual semua sawahnya di Pati ke Yosafat (kakeknya Niken, istri Bayu putra
kedua Heru Wijatsih).
2) Sarimo
dibantu oleh Soemartoadi (kebetulan anak perempuannya, bernama Setiti, adalah
guru MULO Kristen di Surakarta).
Tetapi
sayang Soemawati hanya bisa mengenyam pendidikan di MULO Kristen Surakarta
tersebut kurang dari 1 tahun karena keburu Jepang mendarat dan semua sekolah
zaman Hindia-Belanda ditutup oleh Jepang, tidak terkecuali MULO Kristen
Surakarta.
Tanggal
7 November 1942, Jepang mendirikan sekolah Guru B Puteri di Jetis Yogya dengan
nama Sekolah Guru Perempuan (SGP). Sekolah dan asramanya mengambil
tempat di gedung yang sekarang dipakai oleh Fakultas Teknik UGM. Pada waktu itu
sekolah mulai dengan 10 kelas dan pendidikannya memakan waktu 4 tahun dengan
jumlah murid sekitar 300 orang (dari Normaalschool, HIK van Devenger School dan
Inheensche MULO).
Tanggal
1 April 1943 SGP itu dipindahkan ke Jl. Jati 2 dan dipimpin oleh Sri Umijati,
adik pahlawan nasional Dr. Soetomo, yang meletakkan jabatannya pada tahun 1948
kemudian digantikan oleh Dien Wongsodjojo.
Soemarwati
lantas mengikuti tes masuk ke SGP itu dan diterima. Tahun 1946 Soemarwati lulus
dari SGP Yogya dan kembali ke Pati kemudian melamar dan menjadi Guru SR III di
Pati (letaknya di dekat alun-alun, belakang kabupaten).
Pada
saat itu ada seorang pemuda pribumi bernama Cornelius, yang adalah seorang
aktivis Gereja Pati dan juga seorang Kepala SGC (Sekolah Guru C) Pati yang
tinggal ikut kakaknya yaitu anak tertua Kel. Isakhar (Istirah alias bude
Benjamin).
Cornelius
kemudian merubah namanya menjadi C. Setyoprajitno sebab dia takut/khawatir
(terhadap pemerintah penjajah Jepang) karena namanya yang berbau asing/Belanda.
Soemarwati berkenalan dengan
C.Setyoprajitno karena sama-sama menjadi aktivis pemuda Gereja Pati. Keduanya
kemudian sepakat melangsungkan pernikahan pada tanggal 8 Maret 1950 di rumah
kediaman Sarimo Jl. Dosoman No. 65 Pati.
Kedua
pasangan ini dikaruniai 4 orang anak tetapi yang perempuan (anak kedua)
meninggal dunia semasa bayi sehingga 3 orang anak laki-laki sebagai berikut:
1. Edie
Budi Prasetyo, lahir di Ungaran 7 Desember 1950.
2. Pudjo
Hadi Prasetyo, lahir di Pati 4 September 1954.
3. Santo
Hery Prasetyo, lahir di Pati 18 Desember 1957.
Soemarwati
pernah menjadi guru SR di Kec. Wedarijaksa Pati tetapi pindah bekerja tidak
lama setelah putri keduanya meninggal dunia, lalu diperbantukan sebagai guru di
SD Kristen (yang kemudian menjadi BOPKRI) Pati, sementara suaminya, C.
Setyoprajitno, menjadi Penilik Sekolah di Pati.
Soemarwati
juga menderita penyakit diabetes tetapi enggan memeriksakan diri apalagi
berobat. Pada tanggal 2 Februari 1980, Soemarwati wafat di Dosoman, Pati dan
dimakamkan di pemakaman Kristen Randu Kuning, Pati.
Christiani
Mengapa
diberi nama “Christiani”? Karena semasa Rabisah mengandung, ada seorang Kepala
Laboratorium Gula di PG Langse yang memiliki anak laki-laki meninggal muda,
bernama Christian. Kepala Lab. Gula PG Langse itulah yang memberi saran Sarimo
agar menamai anaknya Christian bila lahir nanti. Berhubung yang lahir bayi
perempuan, maka dinamailah Christiani. Timbul masalah waktu Sarimo mengurus
akte kelahiran Christiani ke Kantor Catatan Sipil di Pati. Nama anak “Christiani”
yang berbau asing dan Nasrani tersebut ditolak, tetapi setelah Sarimo bisa
menunjukkan surat keterangan dari sebuah Gereja di Pati yang menyatakan bahwa
Sarimo adalah pemeluk Nasrani, maka akte kelahiran Christiani bisa diurus dan
akhirnya diterbitkan oleh Kantor Catatan Sipil di Pati.
Ketika Jepang mendarat di Jawa tahun
1942, Christiani adalah seorang remaja puteri yang bersekolah di HIS Katholik
Pati kelas VII. Setelah semua sekolah zaman Hindia-Belanda ditutup oleh Jepang,
Christiani langsung diberi ijazah dan dinyatakan lulus dari kelas VI di sekolah
yang sama pada tahun itu.
Christiani mempunyai cita-cita menjadi
bidan dan beruntung kemudian bisa diterima magang/bekerja di RS Kudus.
Christiani tidak digaji tetapi mendapat fasilitas asrama dan makan. Setelah 4
tahun di sana, Christiani ikut ujian, dinyatakan lulus sebagai perawat dan
berhak melanjutkan ke sekolah kebidanan. Usia Christiani waktu itu adalah 18
tahun.
Di Kudus waktu itu tidak ada sekolah
bidan, dan Christiani memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di RS Klaten,
tetap sebagi seorang perawat. Karena di RS Klaten juga tidak mempunyai
pendidikan bidan, Christiani memutuskan pindah ke Surabaya, yaitu pada tahun
1950 (yaitu saat Errentini Kursus Guru B/KGB di SMP Pati).
Di Surabaya,
Christiani bersekolah bidan di RS Mardi Santoso, Bubutan dan kost di Jl.
Semarang sekitar 1 tahun. Sayangnya ayahanda Christiani tidak sanggup
membiayainya sehingga dibantu oleh adiknya, Errentini, yang waktu sudah punya
pendapatan (karena ikatan dinas di KGB Pati). Karena Christiani termasuk siswa
yang cerdas, dia akhirnya bisa masuk ke asrama di RS tersebut sampai lulus
sekolah bidan.
Semasa
sekolah bidan di RS Mardi Santoso tersebut, Christiani bertemu dan berkenalan
dengan seorang bidan di RS tersebut yang bernama Ninik, anak dari pak Sosro
(kakak dari Widirjo Martham). Pada saat Natal 25 Desember 1952, Christiani
diajak oleh Ninik untuk merayakan Natal di Mojowarno. Isteri pak Sosro (bulik
Ning/Adiningsih, anak perempuan Yosafat) adalah saudara sepupu Rabisah. Singkat
cerita, di situlah Christiani menemukan jodohnya, yaitu Widirjo Martham (yang
sempat berujar: “Ya ini calon isteriku, yang dari Gusti Allah.”)
Tahun
berikutnya, 1953, Widirjo Martham berangkat ke Pati bersama dengan ibundanya
(mbah Masrinah) untuk melamar Christiani ke Kel. Sarimo.
Sebenarnya
Christiani belum boleh menikah karena selepas sekolah bidan, yang bersangkutan
harus menjalani ikatan dinas di RS Mardi Santoso selama beberapa tahun.
Berhubung niatnya menikah kuat, Widirjo Martham sanggup mengganti rugi RS Mardi
Santoso sebagai ganti dari ikatan dinas Christiani.
Tepat
tanggal 17 Oktober 1953, Christiani dipersunting oleh Widirjo Martham dan
keduanya di Dosoman no. 65 Pati.
Pasangan
tersebut dikaruniai 3 (tiga) orang anak, yaitu:
1. Bambang
Wenisudo, lahir di Surabaya pada tanggal 3 Agustus 1954.
2. Retno
Etie Wahyuni, lahir di Surabaya pada tanggal 11 September 1958.
3. Bambang
Pantoro, lahir di Surabaya pada tanggal 11 Desember 1961.
Widirjo
Martham adalah seorang pegawai negeri (P4D) yang bertanggungjawab dalam bidang
perburuhan di Jawa Timur, dengan jabatan Wakil Kepala dan berdomisili di Jl.
Perak Barat 121 Surabaya. Sekitar tahun 1959, Widirjo Martham membeli sebidang
tanah dengan rumah yang belum selesai dibangun di alamat Jl. Pucang Sawit 52
Surabaya. Tahun 1965, Widirjo Martham dipromosikan sebagai seorang Kepala di
Bandung Jawa Barat. Tetapi tidak lama di sana, pecah pemberontakan G30S PKI
pada tanggal 30 September 1965, yang memaksa Kel. Widirjo Martham meninggalkan
Bandung dan pulang ke Mojowarno, Jawa Timur.
Kemungkinan
sekitar awal tahun 1967 (saat Bambang Wenisudo masuk kelas VI, Retno Etie
Wahyuni masuk kelas III dan Anna Dewanti masuk kelas I di SDN Pucang Jajar II
Surabaya), Kel. Widirjo Martham sudah berdomisili kembali di Surabaya yaitu di
Jl. Pucang Sawit 52.
Widirjo
Martham lalu bekerja di PN Iglas Surabaya hingga pensiun sekitar tahun 1971. Pada
tanggal 30 September 1974, Widirjo Martham dilarikan dalam ambulans ke RSAL Dr.
Ramelan Surabaya karena menderita sakit kanker anus. Pada tanggal tersebut,
Widirjo Martham meninggal dunia dalam usia 58 tahun 1 bulan. Jasadnya
dikebumikan di makam Kristen Gubeng Masjid Surabaya.
Sementara
Christiani kemudian hari bekerja di RSAL Surabaya, sebagai bidan sekitar tahun
1960 (yang waktu itu masih berlokasi di sebelah RSUD Dr. Soetomo Karang
Menjangan Surabaya) sampai pensiun sekitar tahun 1983. Kemudian masih bekerja
sebagai bidan di beberapa rumah sakit lain di Surabaya.
Christiani
wafat di Surabaya pada tanggal 3 September 2002 dalam usia 73 tahun 10 bulan
karena mengidap komplikasi diabetes, dan dimakamkan di Makam Kristen Kembang
Kuning Surabaya.
Errentini
Tepat
tanggal 2 Mei 1934 lahirlah putri ketiga mereka di Jl. Dosoman kanal, dan
diberi nama Errentini, yang kelahirannya dibantu oleh zuster Adolfin.
Mengapa
diberi nama Errentini? Karena semasa Rabisah mengandung, Sarimo
bersungguh-sungguh berdoa memohon kepada Tuhan agar diberi anak laki-laki (bah.
Belanda bersungguh-sungguh ialah Ernstig). Sehingga begitu lahir, bayi
perempuan itu diberilah nama Errentini.
Semenjak kecil, Errentini mengidap
penyakit Kinghust (asma) meskipun anggota keluarga tidak ada yang mempunyai
riwayat penyakit keturunan tersebut. Dan sekitar usia 3-4 tahun, Errentini
setiap minggu sekali dibawa ke RS dr. Soewondo untuk menjalani pengobatan yaitu
terapi sinar X dan jika di rumah
Errentini harus latihan berlari sembari main layang-layang di bawah sinar
matahari pagi selama satu jam. Penyakit Kinghust tersebut diderita Errentini
sampai sekitar usia 6 tahun lebih.
Errentini tidak dimasukkan ke HIS (SD
untuk pribumi di jaman Belanda) oleh orangtuanya karena alasan ekonomi (Sarimo
tidak mampu). Akhirnya Errentini dimasukkan ke Sekolah Boedi Oetomo Pati
(lokasi di dekat kantor Kabupaten Pati) kelas 1 (Boedi Oetomo hanya memiliki 3
kelas, yaitu kelas 1, 2 dan 3). Pada awal tahun 1942, Errentini akhirnya
dimasukkan ke HIS Kanisius (lokasinya di sebelah Barat alun-alun Pati) dan
tetap di kelas 1.
Tetapi Errentini hanya mengenyam
pendidikan di HIS tersebut selama 2 bulan saja karena Jepang sudah mendarat di
Jawa pada Maret tahun itu dan semua sekolah Belanda pada waktu itu
ditutup/dibubarkan oleh Jepang (HIS jaman Jepang: Dai Sang Kokuminggako), yang
lokasinya berada di belakang kantor Kabupaten Pati (dulunya adalah sekolah Cina
setaraf HIS). Errentini langsung diterima di kelas 3 di HIS tersebut karena
sudah bisa membaca dan menulis.
Di HIS jaman Jepang tersebut, ada
seorang guru pria baru lulusan SGL Surakarta (Yozef Semedi, seorang pemeluk
Katholik), yang pada suatu ketika menanyai Errentini: “Kamu kelas berapa?”
(dalam bahasa Jawa). Dijawab: Kelas 3.” Terus ditanaya lagi: “Apa kamu punya
saudara perempuan yang sekolah di Surakarta?” Dijawab Errentini: “Ya, punya.
Tetapi sekarang sekolah guru di Yogya.” Lalu ditanya lagi: “Apa kamu bisa
menyanyi?” Dijawab : “Bisa”. Akhirnya Errentini menyanyikan sebuah lagu
anak-anak berbahasa Jepang dengan fasih (sewaktu menyanyi tersebut ada seorang
Jepang yang menyaksikan).
Singkat cerita, Yozef Semedi sedang
mencari anak-anak sekolah rakyat yang bisa menyanyi lagu dalam bahasa Jepang,
terutama anak-anak yang masih duduk di kelas 3 ke bawah. Ternyata Yozef Semedi
memilih Errentini untuk menjadi siswanya dan melatihnya menyanyi selama
beberapa bulan. Hasilnya, Errentini berhasil menjadi juara 1 sewaktu diikutkan lomba
menyanyi tingkat Kabupaten Pati sekitar tahun 1943. Setelah itu Errentini
dilatih terus menyanyi setiap hari untuk diikutkan lomba menyanyi tingkat
karesidenan, dan juga berhasil menjadi juara 1 se-Karesidenan Pati. Hadiah yang
diperoleh antara lain: kain untuk pakaian seragam, sepasang sepatu baru,
sepasang kaus kaki baru dan sebuah topi. Errentini dipersiapkan untuk mengikuti
lomba menyanyi tingkat nasional bersama 2 anak perempuan lainnya yang akan
diadakan di Jakarta pada tahun 1945. Sayangnya hal itu tidak pernah terjadi
karena Jepang keburu kalah perang dan menyerah kepada Sekutu pada Agustus 1945.
Setelah pendudukan Jepang berakhir,
sekolah Dai Sang Kokuminggako (SR jaman Jepang) berubah menjadi Sekolah Rakyat
3 di mana waktu itu Errentini sudah duduk di kelas 5. Pada tahun 1946,
Errentini lulus ujian akhir SR 3 tersebut dengan nilai Bahasa Indonesia 6, Ilmu
Pengetahuan Umum 8 dan Berhitung 8 dengan nilai keseluruhan 22, sehingga
Errentini memenuhi syarat untuk masuk ke SMP Negeri di Pati dan ternyata
Errentini adalah satu-satunya siswa dari SR 3 yang diterima di SMP Negeri Pati
tersebut. Hal itu terjadi pada tahun 1947. Lokasi SMP Negeri Pati tersebut
menempati beranda sebuah rumah warga di belakang Pasar Puri. Jumlah siswa di
SMP Negeri Pati tersebut sekitar 15 anak dengan siswi perempuan sebanyak 3
anak. Dan Errentini masuk di kelas 1A (hanya ada 2 kelas 1 di SMP Negeri
tersebut, yaitu 1A dan 1B).
Di kelas 1A tersebut Errentini tidak
memahami mata pelajaran Ilmu Ukur karena pelajarannya sering diberikan dalam
bahasa Belanda (oleh seorang guru mantan kepala sekolah HIS di Pati yang
bernama Meneer Soeleimanoe). Nilai Ilmu Ukur kuartal 1 : 4, kuartal 2 dan 3 :
6. Hal itu menyebabkan Errentini tidak bisa naik ke kelas 2B (ilmu pasti) dan harus
masuk ke kelas 2A (ilmu sosial/bahasa).
Sewaktu kelas 2A tersebut, proses
belajar dipindahkan ke rumah salah seorang guru SMP Negeri tersebut, selama
sekitar 4 bulan/1 kuartal. Dan kuartal berikutnya, proses belajar kelas 2A
pindah ke lokasi bekas Pabrik Rokok Mintek (di Dosoman, yaitu lokasi SMP Negeri
1 Pati sekarang). Di Dosoman tersebut, Meneer Soeleimanoe pindah tugas dan
diganti oleh kepala sekolah baru yang bernama Matias Soegiono. Pergantian guru
Ilmu Ukur tersebut membawa pengaruh positif bagi Errentini karena semenjak itu
nilai-nilai ilmu pasti (Ilmu Ukur, Aljabar, Biologi, Ilmu Alam dll) Errentini
menjadi bagus yang rata-rata 9. Sehubungan dengan hal itu, akhirnya diputuskan
bahwa Errentini naik dan dipindah ke Kelas 3B, sampai lulus sekitar tahun 1950.
Errentini tidak melanjutkan
pendidikannya ke SMA tetapi ke KGB (Kursus Guru B dengan masa pendidikan
setahun) yang lokasi sekolahnya sama dengan SMP Negeri Pati di Dosoman.
Mengetahui hal itu, Kepsek M. Soegiono datang ke rumah Dosoman dan mencari pak
Sarimo. Soegiono bertanya: “Mengapa kok tidak masuk ke SMA?” (waktu itu SMA
baru saja dibuka sekolahnya di Pati). Dijawab: “Tidak tahu. Errentini memang
bermaksud meneruskan pendidikannya di KGB.” Konon, pendirian KGB karena alasan
minimnya jumlah guru SR (pasca pemberontakan PKI Madiun tahun 1948) yang tewas
dibunuh dan terbunuh.
Waktu itu KGB menerima siswa sebanyak
20 orang, yang sebagian besar berasal dari anak-anak lulusan SMP Jepara kelas
4. Siswa KGB mendapat ikatan dinas dengan gaji Rp. 100/bulan. Beberapa nama
siswa KGB yang diingat oleh Errentini antara lain: Wasil, Mudasir (berasal dari
Jepara), Nanik dan Tatik (berasal dari Surakarta, yang kost di Dosoman),
Srinarsih dan Haryati (tetangga Dosoman), seorang anak perempuan (lupa nama)
yang tewas ditabrak KA, Darsono (yang adalah paklik dari Errentini, asal Kedung
Penjalin, Jepara) dan selebihnya lupa namanya.
Errentini menyelesaikan pendidikannya
di KGB pada tahun 1951. Waktu itu ada iming-iming bahwa jika lulus KGB dengan
nilai terbaik, siswa bisa melanjutkan pendidikannya ke SGA/KGA di Semarang.
Kenyataannya, meski Errentini lulus dengan nilai terbaik, tidak bisa
melanjutkan ke SGA/KGA di Semarang karena ikatan dinas KGB dan di Karesidenan
Pati kekurangan guru SR.
Keadaan tersebut memaksa Errentini
tidak bisa melanjutkan ke SGA/KGA dan sebagai gantinya mengajar di Sekolah
Margo Mukti (setingkat SR untuk anak-anak jalanan) dan mengajar di kelas 4
(tetapi hanya 4 minggu) karena besluit untuk mengajar SR sudah turun dan
diterima. Sesuai besluit, Errentini ditetapkan sebagai guru di SR Wedari Djaksa
Pati (di sebuah kecamatan di dekat pabrik gula Trangkil). Errentini mengajar di
SR Wedari Djaksa selama setahun sesuai ikatan dinasnya. Waktu itu kepala
sekolah di SR tersebut adalah C. Setyoprajitno (suami kakak Errentini,
Soemarwati).
Tahun 1952, setelah menyelesaikan
ikatan dinasnya setahun, Errentini memutuskan keluar dari pekerjaannya sebagai
guru SR Wedari Djaksa.
Heru Wijatsih
Tanggal
18 Juli 1942 di Pati, lahirlah putri keempat pasangan Sarimo-Rabisah, dan
diberi nama Heru Wijatsih. Mengapa diberi nama “Heru Wijatsih”? Karena waktu
itu masa hera-heru (Jepang menjajah Nusantara mengalahkan Belanda). Dan ada
“sih” (kasih) dari “ngawiyat” (dari surga). Tetapi mengapa tidak dinamakan
Hera? (yang lebih cocok sebagai nama anak perempuan?) karena waktu itu Sarimo
ingin memiliki anak laki-laki.... sehingga diberilah anaknya nama Heru dan
bukan Hera. Yang memberi nama seperti itu adalah Slamet Ruspah (istri Yosafat
Soepadmoardjo) mengingat si jabang bayi sudah seminggu sejak lahir belum diberi
nama alias puput puser (sebab kesulitan mencari nama yang tepat).