Thursday, March 26, 2020

Swargi Mbah Sarimo


Sarimo


Sarimo adalah anak sulung dari sebuah keluarga muslim yang konon dilahirkan pada tanggal 12 Agustus 1902 di dusun Gapuk, desa Genukwatu, Ngoro, Jombang. Ayahandanya dikenal dengan sebutan mbah Gapuk dan Sukiyam adalah nama ibundanya (yang kemudian hari wafat di Semarang). Sarimo bersaudara 5 (lima) orang yaitu: Sarmin (laki-laki, anak kedua), Sarmi (perempuan, anak ketiga), Sarti (perempuan, anak keempat), Saminah (perempuan, anak kelima) dan Satiyah (perempuan, anak keenam atau bungsu).

Sarmin menikah dan mempunyai beberapa orang anak. Salah seorang anaknya, yang bernama Soepeno, tinggal bersama Sarimo di Pati. Anak-anak Sarmin yang lain, tidak diketahui ceritanya.

Sarmi menikah tetapi tidak mempunyai anak, dan tidak mengangkat anak. Sarmi kemudian ikut tinggal di Pati bersama Keluarga Sarimo.

Sarti menikah dan mempunyai beberapa orang anak. Radin, salah seorang anak Sarti, ikut tinggal bersama Kel. Widirjo Martham dan sempat bekerja ikut Widirjo M. di kantor perburuhan Jl. Perak Barat 121 Surabaya. Berhubung Kel. Widirjo M. pindah domisili ke Bandung, Jawa Barat, Radin kemudian ikut tinggal bersama Kel. Errentini di Jl. Pucang Sawit 52 Surabaya. Radin menikahi Ginah (tetangga ibu dari mbok Kus, ibu Dji’an) dan mempunyai seorang anak perempuan yang diberi nama Suprihatin, yang lahir di Sumatera karena Kel. Radin menjadi transmigran di sana.

Saminah menikah dengan seorang Letnan AD bernama Pramoedji dan dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Agung Binarko (mas Koko) dan berdomisili di Semarang.

          Satiyah tidak diketahui cerita kehidupannya.

Sarimo menamatkan sekolah desa tiga tahun di dusunnya, lalu melanjutkan ke sekolah “ongko loro” (sekolah rakyat untuk bumiputera) di Ngoro dari kelas IV sampai lulus kelas V. Sarimo tidak termasuk anak yang soleh atau taat beribadah, sebab setiap kali bubaran sekolah dia tidak pernah mau pulang ke rumah sebelum waktu sholat Isya lewat. Setiap pagi Sarimo berangkat ke sekolah sebelum Subuh, yang dari rumahnya berjarak sekitar 10 km.

Sarimo senang bermain di dekat rumah salah seorang guru “ongko loro” yang beragama Kristen yang bernama pak Pramu (ayahanda pak Suryandaru, seorang dosen UNDIP di Semarang). Suatu saat Sarimo ditanya oleh pak Pramu, “Tiap kali bubaran sekolah, mengapa kowe tidak segera pulang ke rumah?” Sarimo menjawab, “Saya pulang ke rumah setelah waktu Isya lewat, nDoro.” (tampaknya Sarimo enggan sholat). Pernah pak Pramu menawari Sarimo apa mau ikut (tinggal bersamanya). Jawab si anak, “Mau.”

Di tempat pak Pramulah, untuk pertama kalinya Sarimo berkenalan dengan kekristenan (tetapi tidak diketahui kapan Sarimo dibaptis dan menjadi orang Kristen). Setelah lulus sekolah “ongko loro” pak Pramu kembali bertanya, “Kowe mau bekerja atau meneruskan sekolah?” (sebenarnya pak Pramu yang akan menanggung semua biaya sekolah Sarimo andaikata dia mau). Jawab Sarimo, “Saya ingin bersekolah.” Tetapi kemudian Sarimo menolak karena sekolah yang ditawarkan pak Pramu letaknya ada di Mojowarno (sekolah perawat di RS Kristen Mojowarno yang letaknya memang tidak jauh dari rumahnya), yang mungkin saja karena dia khawatir ketahuan oleh keluarganya yang muslim.
Suatu hari ketika Sarimo terlambat pulang, ibundanya mencari-cari dan akhirnya didapatinya si anak berada di rumah pak Pramu di Ngoro. Tetapi Sarimo tidak mau diajak pulang oleh ibundanya. Untunglah pak Pramu berhasil membujuk dan meyakinkan ibunda Sarimo yang berkenan memberi ijin Sarimo untuk mendaftar ke sekolah perawat di Kelet (utara Tayu/Juwana).
Sarimo dibekali sepucuk surat oleh pak Pramu agar diserahkan kepada Kepala RS Kelet, orang Jerman bernama Master/Dokter Ranberg (?), yang isinya mungkin surat keterangan agar si pembawa surat diterima sebagai siswa di sekolah perawat situ. Singkat cerita Sarimo diterima dan menjadi siswa. Setelah lulus dari sekolah, Sarimo diterima bekerja di RS Kelet (sudah dibaptis dan menjadi Kristen). Di sini Sarimo bertemu dan berkenalan dengan seorang gadis bernama Rabisah (waktu itu juga bekerja di RS yang sama, entah sebagai apa).

Setelah beberapa waktu berkenalan, Sarimo melamar Rabisah. Lamarannya diterima dan akhirnya keduanya menikah secara Kristen di Kedung Penjalin, Jepara.
Adalah Soemartoadi (paklik Rabisah) yang membujuk Sarimo keluar dari pekerjaannya di RS Kelet lalu mengajaknya pindah ke Semarang. Sarimo setuju dan pasutri itu lantas boyong ke Semarang. Sarimo sempat magang sebelum akhirnya diterima bekerja di CBZ (Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting) Semarang, sekarang RSUD Dr. Kariadi. Di sini Sarimo mendapat kesempatan untuk menambah pengetahuannya tentang cara meramu/meracik obat untuk berbagai jenis penyakit dan pengetahuan tersebut berguna baginya ketika dia melamar pekerjaan di perusahaan lain nantinya.

Pada tanggal 9 Maret 1926 lahirlah putri pertama mereka di Semarang yang diberi nama Soemarwati.

Tidak diketahui secara pasti kapan tepatnya Sarimo keluar dari pekerjaannya di CBZ Semarang, dan melamar ke PG (Pabrik Gula) Langse yang letaknya di sebelah barat Pati. Yang jelas, Sarimo diberitahu pakliknya, Soemartoadi, bahwa PG Langse sedang membutuhkan tenaga perawat karena ada pegawainya yang mengundurkan diri. Lamaran Sarimo diterima. Di PG Langse, Sarimo digaji 100 Gulden dan mendapat rumah dinas. Di situlah awal kehidupan Sarimo membaik dan berkecukupan karena bisa punya kuda tunggangan, sepeda Fongers buatan Belanda, bedil, kuda & dokarnya (yang waktu itu dikusiri oleh Soejono, ayahanda Warsono). Sarimo gemar bermain sepakbola dan mahir memainkan alat musik biola. Waktu itu Soejono tinggal bersama Kel. Sarimo di Langse bahkan sempat dia belajar bahasa Belanda bersama-sama di Pati.

Di Langse, pada tanggal 25 November 1928 lahirlah putri kedua mereka yang diberi nama Christiani.

Pada tahun 1933, dunia dilanda krisis ekonomi yang parah, yang dikenal dengan masa Malaise. Dampak krisis, PG Langse tutup dan pailit, Sarimo hanya diberi uang tunggu dan tidak mendapat uang pesangon bahkan harus keluar dari rumah dinas Perusahaan, padahal Rabisah sedang mengandung anak yang ketiga.

Hal itu memaksa Sarimo pindah ke rumah sewa di Jl. Prenggan Pati. Berhubung Rabisah tidak ingin melahirkan anak di rumah sewa itu, Sarimo kembali mencari tempat tinggal yang baru, dan akhirnya dia membeli rumah di Jl. Dosoman kanal (kemudian hari menjadi Jl. Dosoman No. 65), seharga 250 Gulden yang merupakan tabungan dan hasil menjual beberapa harta bendanya. Pada waktu dibeli, rumah itu baru setengah jadi (dapur dan kamar mandi belum ada). Penyelesaian pembangunan rumah itu dikerjakan oleh pakde Kilam (kakak Rabisah).

Pada saat yang bersamaan Soewondo, Bupati Pati waktu itu, meresmikan pembukaan rumah sakit umum baru di Pati dan rumah sakit itu diberi nama seperti namanya, Soewondo Ziekenhuis. Pucuk dicinta ulam tiba, Sarimo melamar pekerjaan ke RS itu dan Sarimo diterima bekerja di sana sebagai perawat dan sempat berkenalan dengan seorang bidan Manado bernama zuster Adolfin.

Di tempat kerjanya yang baru (Soewondo Ziekenhuis), Sarimo mendapat gaji kurang dari 30 Gulden per bulan. Uang sebesar itu kurang dan tidak memenuhi syarat untuk menyekolahkan kedua anaknya (Soemarwati dan Christiani) ke HIS / Hollandsch Inlandsch School (sekolah setaraf SD zaman Hindia-Belanda untuk bumiputera), terlebih lagi Sarimo hanyalah seorang perawat RS lokal dan bukan seorang ambtenaar (pegawai negeri zaman Hindia-Belanda).

Pada tanggal 1 Maret 1942 tentara ke-16 Jepang berhasil mendarat di Kragan (sebelah timur Rembang), Jawa Tengah. Dan mulailah pendudukan atau penjajahan Jepang di Indonesia. 4 bulan kemudian, tepatnya tanggal 18 Juli 1942 lahirlah putri keempat atau bungsu dari Kel. Sarimo di Dosoman, Pati yang diberi nama Heru Wijatsih dan kelahirannya juga dibantu oleh zuster Adolfin.

Pada masa itu Sarimo berniat mendaftar ke sekolah pembantu dokter (Hojoi) di PURUSARA (PUSAT RUMAH SAKIT RAKYAT) yang dalam bahasa Jepang disebut “ Chuo Simin Byoing “ (yang dulunya CBZ), tetapi tidak terlaksana karena Jepang terlanjur menyerah kepada Sekutu setelah Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom oleh Amerika Serikat pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945.

          Setelah Indonesia merdeka (jaman Republik), Sarimo melanjutkan kariernya sebagai tenaga kesehatan di tempat yang sama yang sekarang dikelola oleh militer/tentara Republik. Sarimo diberi pangkat (pada mulanya) Kapten, tetapi setelah rasionalisasi pangkatnya menjadi Sersan Mayor. Di rumah sakit tentara tersebut, selain mendapat gaji Sarimo juga mendapat beras, gula, kopi, susu, sarden dll. sehingga kondisi ekonomi keluarga kembali membaik.

          Pemberontakan PKI di Madiun pada 18 September 1948, berakibat pada situasi keamanan di Pati. Terjadi penjarahan beberapa rumah di Jl. Dosoman oleh massa. Sarimo terpaksa lari menyelamatkan diri dan ikut bergerilya dengan tentara Republik. Kondisi itu memperburuk kesehatan Sarimo karena penyakit Diabetesnya menjadi parah. Setelah pemberontakan bisa dipadamkan oleh Kol. A.H. Nasution, Sarimo keluar dari dinas ketentaraan sesuai anjuran istrinya, Rabisah dan kembali bekerja sebagai perawat di RS Soewondo Pati. Hal itu menyebabkan kondisi ekonomi keluarga menjadi kurang baik karena fasilitasnya tidak sebaik di rumah sakit tentara.

          Adalah Ngatinah, anak dari Manloso dan bik Giyah (pembantu rumah tangga Kel. Sarimo sewaktu masih di Langse), yang seusia Errentini menderita penyakit frambosia (patek) di sekujur tubuhnya datang menemui Sarimo di rumah Dosoman. Kondisi Ngatinah sangat memprihatinkan, selain sakit dia berpakaian goni dan tubuhnya kurus kering. Itulah awal mula Sarimo menjadi mantri suntik karena dia ‘berani’ menyuntik Ngatinah yang didasari oleh rasa iba. Cairan yang disuntikkan adalah Neosalvarsan (Neoarsphenamine) yang sebenarnya adalah cairan anti bakteri yang mengandung arsenik dari bahan organik yang pada awal abad 20 dipakai secara luas untuk mengobati penyakit disentri pada babi dan kalkun.

          Setelah disuntik, Ngatinah pulang ke Langse dengan beberapa potong pakaian bekas pemberian Kel. Sarimo. 2 malam setelah disuntik, Ngatinah menderita sakit di sekujur badannya dan tidak bisa tidur tetapi keesokan hari semua frambosia/patek di di sekujur badannya mulai rontok dan merasa lebih baik. Ngatinah kembali ke Dosoman bersama ibunya dan mendapat suntikan yang kedua dari Sarimo. Sejak itu Ngatinah sembuh total dan hal itu membuat banyak tetangganya di Langse menjadi heran. Segera tersiar kabar bahwa di Dosoman ada mantri suntik yang handal. Hahahahaaaa..
Dan .... banyak orang atau pasien yang disembuhkan dari sakitnya oleh pak mantri Sarimo. Nama Sarimo menjadi terkenal di seluruh Pati dan hidup seluruh keluarga Sarimo kembali makmur dan berkecukupan. Tetapi praktek suntik tersebut dilarang oleh pihak Kabupaten melalui dokter Sadjimin tetapi tidak dihiraukan oleh pak mantri Sarimo dan tetap berpraktek karena menurut pak mantri dr. Sadjimin tidak mempunyai wewenang dalam hal itu.

Di satu sisi, kondisi ekonomi keluarga Sarimo mulai membaik tetapi di sisi yang lain kondisi kesehatan Sarimo kembali memburuk karena kesibukan dan kurang istirahat, penyakit diabetesnya menjadi semakin parah. Dan beberapa kali opname di RS Soewondo. Pada tanggal 17 Oktober 1953, sewaktu opname di RS Soewondo, Sarimo dibawa pulang ke Dosoman dengan ambulans. Para tetangga mengira bahwa Sarimo meninggal dunia.. tetapi ternyata Sarimo pulang ke Dosoman karena diminta oleh istrinya, Rabisah, untuk hadir pada pernikahan Christiani, anak kedua Sarimo, dengan mempelai pria dari Mojowarno yang bernama Widirjo Martham.

Dua hari kemudian (19 Oktober 1953), kedua mempelai ditemani oleh Errentini berangkat ke Surabaya naik kendaraan pribadi dan menginap di rumah Jl. Perak Barat 121. Rencananya, kedua mempelai hendak diunduh mantu di Mojowarno pada tanggal 23 Oktober 1953 dengan pagelaran wayang kulit. Pada saat yang hampir bersamaan, keluarga Setyoprajitno dan Soemarwati mengalami kedukaan karena putri kedua mereka (Puji Retno Wati) meninggal dunia di Dosoman Pati dalam usia 6 bulan karena sakit mendadak.

Setelah menderita sakit diabetes selama beberapa lama dan keluar masuk rumah sakit, tepat pada tanggal 15 Januari 1959 Sarimo wafat di rumah Dosoman dalam usia 56 tahun 5 bulan. Itu tepat seminggu setelah surat pensiun Sarimo keluar, yang waktu itu pengurusannya dibantu oleh pak Sosro (kakak Widirjo M). Pak Sosro waktu itu juga membantu pengurusan administrasi pensiun untuk istri Sarimo (Rabisah) yang menjadi janda, tetapi hal tersebut tidak menjadi masalah karena Sarimo meninggalkan harta yang cukup banyak buat keluarganya. Karena itu anak-anak Sarimo tetap bisa melanjutkan pendidikannya (pada tahun 1955 pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan Zanering, yaitu pemotongan nominal ORIE, seribu Rupiah menjadi satu Rupiah).



Rabisah


Rabisah dilahirkan di Desa Puluh Jati, Mayong, Kab. Jepara, sebagai anak keempat dari seorang wanita bernama Sarisih. Anak pertama Sarisih adalah Tasmilah, yang kedua adalah Kilam dan yang ketiga adalah Karidjah. Ketika suaminya meninggal dunia, Sarisih terpaksa pindah dan memboyong keempat anaknya ke Kedung Penjalin dengan hanya berbekal segerobak padi.

Anak-anak Tasmilah adalah Soemarto (ayah Ismiati), Soejono (ayah Warsono), Soeranti (perempuan, mempunyai anak 1 dan meninggal dunia), Soelinah (beragama Islam), Setiti dan Soedarsono (istrinya bidan di Kudus).

Kilam tidak mempunyai keturunan tetapi mengangkat seorang anak perempuan yang bernama Sriwahju, yang kemudian menikah dengan keponakan Nyi Kar (Tarman, ayah Darmadji).

Karidjah juga tidak mempunyai keturunan tetapi kaya raya. Suaminya adalah seorang Cina biasa dipanggil dengan nama Babah Din.

Sebelum bekerja di RS Kelet, Rabisah pernah tinggal (ngenger) di rumah keluarga Mr./Dr. Ranberg dan banyak memetik pelajaran (hidup) tentang pekerjaan rumah tangga dan tata krama atau tradisi masyarakat kolonial Belanda.

Rabisah mempunyai banyak kerabat di Kelet yang pandai berbahasa Belanda.

Pada tanggal 6 Februari 1973, Rabisah wafat di Dosoman, Pati dalam usia 66 tahun, dan dimakamkan di sebelah pusara suaminya, Sarimo, di pemakaman Kristen Randu Kuning, Pati.



Soemarwati


Pada tanggal 9 Maret 1926, di Semarang lahirlah putri pertama mereka yang diberi nama Soemarwati. Mengapa diberi nama “Soemarwati”? Pada masa itu nama yang lazim untuk bayi perempuan adalah Soemiati, Soemini dan semacamnya (berawalan Soe...). Tetapi seiring waktu dan Soemarwati beranjak remaja, dia kurang senang dan kesal hati dengan namanya karena menurutnya nama itu terkesan ndesit alias kampungan..., tidak seperti nama adik-adiknya.

Oleh ayahandanya, Soemarwati akhirnya dimasukkan ke Schakel School atau sekolah peralihan/calon guru HIS (setingkat kelas V SD); tetapi kemudian Soemarwati juga ikut ujian masuk ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Kristen di Surakarta, setaraf SMP di zaman Hindia-Belanda, dan diterima.

          Akhirnya diputuskan oleh Sarimo bahwa Soemarwati akan disekolahkan di MULO Kristen Surakarta tetapi lagi-lagi timbul masalah sebab uang Sarimo tidak cukup untuk membiayai Soemarwati bisa bersekolah di situ mengingat :

1)    Sarimo harus membayar uang asrama anaknya sebesar 10 Gulden, lalu uang saku dll sekitar 2 Gulden (sebagai perbandingan, waktu itu uang 1 Gulden nilainya sama dengan harga beras 1 dacin (+/- 62,5 kg); sepotong es lilin pakai susu seharga 1 sen Gulden sementara es lilin tidak pakai susu seharga 0.5 sen Gulden).

Tetapi toh pada akhirnya Soemarwati bisa bersekolah di MULO Kristen Surakarta karena:

1)    Sarimo menjual semua sawahnya di Pati ke Yosafat (kakeknya Niken, istri Bayu putra kedua Heru Wijatsih).
2)    Sarimo dibantu oleh Soemartoadi (kebetulan anak perempuannya, bernama Setiti, adalah guru MULO Kristen di Surakarta).

Tetapi sayang Soemawati hanya bisa mengenyam pendidikan di MULO Kristen Surakarta tersebut kurang dari 1 tahun karena keburu Jepang mendarat dan semua sekolah zaman Hindia-Belanda ditutup oleh Jepang, tidak terkecuali MULO Kristen Surakarta.

Tanggal 7 November 1942, Jepang mendirikan sekolah Guru B Puteri di Jetis Yogya dengan nama Sekolah Guru Perempuan (SGP). Sekolah dan asramanya mengambil tempat di gedung yang sekarang dipakai oleh Fakultas Teknik UGM. Pada waktu itu sekolah mulai dengan 10 kelas dan pendidikannya memakan waktu 4 tahun dengan jumlah murid sekitar 300 orang (dari Normaalschool, HIK van Devenger School dan Inheensche MULO).

Tanggal 1 April 1943 SGP itu dipindahkan ke Jl. Jati 2 dan dipimpin oleh Sri Umijati, adik pahlawan nasional Dr. Soetomo, yang meletakkan jabatannya pada tahun 1948 kemudian digantikan oleh Dien Wongsodjojo.

Soemarwati lantas mengikuti tes masuk ke SGP itu dan diterima. Tahun 1946 Soemarwati lulus dari SGP Yogya dan kembali ke Pati kemudian melamar dan menjadi Guru SR III di Pati (letaknya di dekat alun-alun, belakang kabupaten).

Pada saat itu ada seorang pemuda pribumi bernama Cornelius, yang adalah seorang aktivis Gereja Pati dan juga seorang Kepala SGC (Sekolah Guru C) Pati yang tinggal ikut kakaknya yaitu anak tertua Kel. Isakhar (Istirah alias bude Benjamin).
Cornelius kemudian merubah namanya menjadi C. Setyoprajitno sebab dia takut/khawatir (terhadap pemerintah penjajah Jepang) karena namanya yang berbau asing/Belanda.

          Soemarwati berkenalan dengan C.Setyoprajitno karena sama-sama menjadi aktivis pemuda Gereja Pati. Keduanya kemudian sepakat melangsungkan pernikahan pada tanggal 8 Maret 1950 di rumah kediaman Sarimo Jl. Dosoman No. 65 Pati.

Kedua pasangan ini dikaruniai 4 orang anak tetapi yang perempuan (anak kedua) meninggal dunia semasa bayi sehingga 3 orang anak laki-laki sebagai berikut:
1.     Edie Budi Prasetyo, lahir di Ungaran 7 Desember 1950.
2.     Pudjo Hadi Prasetyo, lahir di Pati 4 September 1954.
3.     Santo Hery Prasetyo, lahir di Pati 18 Desember 1957.

Soemarwati pernah menjadi guru SR di Kec. Wedarijaksa Pati tetapi pindah bekerja tidak lama setelah putri keduanya meninggal dunia, lalu diperbantukan sebagai guru di SD Kristen (yang kemudian menjadi BOPKRI) Pati, sementara suaminya, C. Setyoprajitno, menjadi Penilik Sekolah di Pati.

Soemarwati juga menderita penyakit diabetes tetapi enggan memeriksakan diri apalagi berobat. Pada tanggal 2 Februari 1980, Soemarwati wafat di Dosoman, Pati dan dimakamkan di pemakaman Kristen Randu Kuning, Pati.



Christiani


Mengapa diberi nama “Christiani”? Karena semasa Rabisah mengandung, ada seorang Kepala Laboratorium Gula di PG Langse yang memiliki anak laki-laki meninggal muda, bernama Christian. Kepala Lab. Gula PG Langse itulah yang memberi saran Sarimo agar menamai anaknya Christian bila lahir nanti. Berhubung yang lahir bayi perempuan, maka dinamailah Christiani. Timbul masalah waktu Sarimo mengurus akte kelahiran Christiani ke Kantor Catatan Sipil di Pati. Nama anak “Christiani” yang berbau asing dan Nasrani tersebut ditolak, tetapi setelah Sarimo bisa menunjukkan surat keterangan dari sebuah Gereja di Pati yang menyatakan bahwa Sarimo adalah pemeluk Nasrani, maka akte kelahiran Christiani bisa diurus dan akhirnya diterbitkan oleh Kantor Catatan Sipil di Pati.

          Ketika Jepang mendarat di Jawa tahun 1942, Christiani adalah seorang remaja puteri yang bersekolah di HIS Katholik Pati kelas VII. Setelah semua sekolah zaman Hindia-Belanda ditutup oleh Jepang, Christiani langsung diberi ijazah dan dinyatakan lulus dari kelas VI di sekolah yang sama pada tahun itu.

          Christiani mempunyai cita-cita menjadi bidan dan beruntung kemudian bisa diterima magang/bekerja di RS Kudus. Christiani tidak digaji tetapi mendapat fasilitas asrama dan makan. Setelah 4 tahun di sana, Christiani ikut ujian, dinyatakan lulus sebagai perawat dan berhak melanjutkan ke sekolah kebidanan. Usia Christiani waktu itu adalah 18 tahun.

          Di Kudus waktu itu tidak ada sekolah bidan, dan Christiani memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di RS Klaten, tetap sebagi seorang perawat. Karena di RS Klaten juga tidak mempunyai pendidikan bidan, Christiani memutuskan pindah ke Surabaya, yaitu pada tahun 1950 (yaitu saat Errentini Kursus Guru B/KGB di SMP Pati).
Di Surabaya, Christiani bersekolah bidan di RS Mardi Santoso, Bubutan dan kost di Jl. Semarang sekitar 1 tahun. Sayangnya ayahanda Christiani tidak sanggup membiayainya sehingga dibantu oleh adiknya, Errentini, yang waktu sudah punya pendapatan (karena ikatan dinas di KGB Pati). Karena Christiani termasuk siswa yang cerdas, dia akhirnya bisa masuk ke asrama di RS tersebut sampai lulus sekolah bidan.

Semasa sekolah bidan di RS Mardi Santoso tersebut, Christiani bertemu dan berkenalan dengan seorang bidan di RS tersebut yang bernama Ninik, anak dari pak Sosro (kakak dari Widirjo Martham). Pada saat Natal 25 Desember 1952, Christiani diajak oleh Ninik untuk merayakan Natal di Mojowarno. Isteri pak Sosro (bulik Ning/Adiningsih, anak perempuan Yosafat) adalah saudara sepupu Rabisah. Singkat cerita, di situlah Christiani menemukan jodohnya, yaitu Widirjo Martham (yang sempat berujar: “Ya ini calon isteriku, yang dari Gusti Allah.”)
Tahun berikutnya, 1953, Widirjo Martham berangkat ke Pati bersama dengan ibundanya (mbah Masrinah) untuk melamar Christiani ke Kel. Sarimo.
Sebenarnya Christiani belum boleh menikah karena selepas sekolah bidan, yang bersangkutan harus menjalani ikatan dinas di RS Mardi Santoso selama beberapa tahun. Berhubung niatnya menikah kuat, Widirjo Martham sanggup mengganti rugi RS Mardi Santoso sebagai ganti dari ikatan dinas Christiani.

Tepat tanggal 17 Oktober 1953, Christiani dipersunting oleh Widirjo Martham dan keduanya di Dosoman no. 65 Pati.

Pasangan tersebut dikaruniai 3 (tiga) orang anak, yaitu:

1.     Bambang Wenisudo, lahir di Surabaya pada tanggal 3 Agustus 1954.
2.     Retno Etie Wahyuni, lahir di Surabaya pada tanggal 11 September 1958.
3.     Bambang Pantoro, lahir di Surabaya pada tanggal 11 Desember 1961.

Widirjo Martham adalah seorang pegawai negeri (P4D) yang bertanggungjawab dalam bidang perburuhan di Jawa Timur, dengan jabatan Wakil Kepala dan berdomisili di Jl. Perak Barat 121 Surabaya. Sekitar tahun 1959, Widirjo Martham membeli sebidang tanah dengan rumah yang belum selesai dibangun di alamat Jl. Pucang Sawit 52 Surabaya. Tahun 1965, Widirjo Martham dipromosikan sebagai seorang Kepala di Bandung Jawa Barat. Tetapi tidak lama di sana, pecah pemberontakan G30S PKI pada tanggal 30 September 1965, yang memaksa Kel. Widirjo Martham meninggalkan Bandung dan pulang ke Mojowarno, Jawa Timur.

Kemungkinan sekitar awal tahun 1967 (saat Bambang Wenisudo masuk kelas VI, Retno Etie Wahyuni masuk kelas III dan Anna Dewanti masuk kelas I di SDN Pucang Jajar II Surabaya), Kel. Widirjo Martham sudah berdomisili kembali di Surabaya yaitu di Jl. Pucang Sawit 52.

Widirjo Martham lalu bekerja di PN Iglas Surabaya hingga pensiun sekitar tahun 1971. Pada tanggal 30 September 1974, Widirjo Martham dilarikan dalam ambulans ke RSAL Dr. Ramelan Surabaya karena menderita sakit kanker anus. Pada tanggal tersebut, Widirjo Martham meninggal dunia dalam usia 58 tahun 1 bulan. Jasadnya dikebumikan di makam Kristen Gubeng Masjid Surabaya.

Sementara Christiani kemudian hari bekerja di RSAL Surabaya, sebagai bidan sekitar tahun 1960 (yang waktu itu masih berlokasi di sebelah RSUD Dr. Soetomo Karang Menjangan Surabaya) sampai pensiun sekitar tahun 1983. Kemudian masih bekerja sebagai bidan di beberapa rumah sakit lain di Surabaya.

Christiani wafat di Surabaya pada tanggal 3 September 2002 dalam usia 73 tahun 10 bulan karena mengidap komplikasi diabetes, dan dimakamkan di Makam Kristen Kembang Kuning Surabaya.


Errentini


Tepat tanggal 2 Mei 1934 lahirlah putri ketiga mereka di Jl. Dosoman kanal, dan diberi nama Errentini, yang kelahirannya dibantu oleh zuster Adolfin.

Mengapa diberi nama Errentini? Karena semasa Rabisah mengandung, Sarimo bersungguh-sungguh berdoa memohon kepada Tuhan agar diberi anak laki-laki (bah. Belanda bersungguh-sungguh ialah Ernstig). Sehingga begitu lahir, bayi perempuan itu diberilah nama Errentini.

          Semenjak kecil, Errentini mengidap penyakit Kinghust (asma) meskipun anggota keluarga tidak ada yang mempunyai riwayat penyakit keturunan tersebut. Dan sekitar usia 3-4 tahun, Errentini setiap minggu sekali dibawa ke RS dr. Soewondo untuk menjalani pengobatan yaitu terapi sinar X dan jika di  rumah Errentini harus latihan berlari sembari main layang-layang di bawah sinar matahari pagi selama satu jam. Penyakit Kinghust tersebut diderita Errentini sampai sekitar usia 6 tahun lebih.

          Errentini tidak dimasukkan ke HIS (SD untuk pribumi di jaman Belanda) oleh orangtuanya karena alasan ekonomi (Sarimo tidak mampu). Akhirnya Errentini dimasukkan ke Sekolah Boedi Oetomo Pati (lokasi di dekat kantor Kabupaten Pati) kelas 1 (Boedi Oetomo hanya memiliki 3 kelas, yaitu kelas 1, 2 dan 3). Pada awal tahun 1942, Errentini akhirnya dimasukkan ke HIS Kanisius (lokasinya di sebelah Barat alun-alun Pati) dan tetap di kelas 1.

          Tetapi Errentini hanya mengenyam pendidikan di HIS tersebut selama 2 bulan saja karena Jepang sudah mendarat di Jawa pada Maret tahun itu dan semua sekolah Belanda pada waktu itu ditutup/dibubarkan oleh Jepang (HIS jaman Jepang: Dai Sang Kokuminggako), yang lokasinya berada di belakang kantor Kabupaten Pati (dulunya adalah sekolah Cina setaraf HIS). Errentini langsung diterima di kelas 3 di HIS tersebut karena sudah bisa membaca dan menulis.

          Di HIS jaman Jepang tersebut, ada seorang guru pria baru lulusan SGL Surakarta (Yozef Semedi, seorang pemeluk Katholik), yang pada suatu ketika menanyai Errentini: “Kamu kelas berapa?” (dalam bahasa Jawa). Dijawab: Kelas 3.” Terus ditanaya lagi: “Apa kamu punya saudara perempuan yang sekolah di Surakarta?” Dijawab Errentini: “Ya, punya. Tetapi sekarang sekolah guru di Yogya.” Lalu ditanya lagi: “Apa kamu bisa menyanyi?” Dijawab : “Bisa”. Akhirnya Errentini menyanyikan sebuah lagu anak-anak berbahasa Jepang dengan fasih (sewaktu menyanyi tersebut ada seorang Jepang yang menyaksikan).

          Singkat cerita, Yozef Semedi sedang mencari anak-anak sekolah rakyat yang bisa menyanyi lagu dalam bahasa Jepang, terutama anak-anak yang masih duduk di kelas 3 ke bawah. Ternyata Yozef Semedi memilih Errentini untuk menjadi siswanya dan melatihnya menyanyi selama beberapa bulan. Hasilnya, Errentini berhasil  menjadi juara 1 sewaktu diikutkan lomba menyanyi tingkat Kabupaten Pati sekitar tahun 1943. Setelah itu Errentini dilatih terus menyanyi setiap hari untuk diikutkan lomba menyanyi tingkat karesidenan, dan juga berhasil menjadi juara 1 se-Karesidenan Pati. Hadiah yang diperoleh antara lain: kain untuk pakaian seragam, sepasang sepatu baru, sepasang kaus kaki baru dan sebuah topi. Errentini dipersiapkan untuk mengikuti lomba menyanyi tingkat nasional bersama 2 anak perempuan lainnya yang akan diadakan di Jakarta pada tahun 1945. Sayangnya hal itu tidak pernah terjadi karena Jepang keburu kalah perang dan menyerah kepada Sekutu pada Agustus 1945.

          Setelah pendudukan Jepang berakhir, sekolah Dai Sang Kokuminggako (SR jaman Jepang) berubah menjadi Sekolah Rakyat 3 di mana waktu itu Errentini sudah duduk di kelas 5. Pada tahun 1946, Errentini lulus ujian akhir SR 3 tersebut dengan nilai Bahasa Indonesia 6, Ilmu Pengetahuan Umum 8 dan Berhitung 8 dengan nilai keseluruhan 22, sehingga Errentini memenuhi syarat untuk masuk ke SMP Negeri di Pati dan ternyata Errentini adalah satu-satunya siswa dari SR 3 yang diterima di SMP Negeri Pati tersebut. Hal itu terjadi pada tahun 1947. Lokasi SMP Negeri Pati tersebut menempati beranda sebuah rumah warga di belakang Pasar Puri. Jumlah siswa di SMP Negeri Pati tersebut sekitar 15 anak dengan siswi perempuan sebanyak 3 anak. Dan Errentini masuk di kelas 1A (hanya ada 2 kelas 1 di SMP Negeri tersebut, yaitu 1A dan 1B).

          Di kelas 1A tersebut Errentini tidak memahami mata pelajaran Ilmu Ukur karena pelajarannya sering diberikan dalam bahasa Belanda (oleh seorang guru mantan kepala sekolah HIS di Pati yang bernama Meneer Soeleimanoe). Nilai Ilmu Ukur kuartal 1 : 4, kuartal 2 dan 3 : 6. Hal itu menyebabkan Errentini tidak bisa naik ke kelas 2B (ilmu pasti) dan harus masuk ke kelas 2A (ilmu sosial/bahasa).

          Sewaktu kelas 2A tersebut, proses belajar dipindahkan ke rumah salah seorang guru SMP Negeri tersebut, selama sekitar 4 bulan/1 kuartal. Dan kuartal berikutnya, proses belajar kelas 2A pindah ke lokasi bekas Pabrik Rokok Mintek (di Dosoman, yaitu lokasi SMP Negeri 1 Pati sekarang). Di Dosoman tersebut, Meneer Soeleimanoe pindah tugas dan diganti oleh kepala sekolah baru yang bernama Matias Soegiono. Pergantian guru Ilmu Ukur tersebut membawa pengaruh positif bagi Errentini karena semenjak itu nilai-nilai ilmu pasti (Ilmu Ukur, Aljabar, Biologi, Ilmu Alam dll) Errentini menjadi bagus yang rata-rata 9. Sehubungan dengan hal itu, akhirnya diputuskan bahwa Errentini naik dan dipindah ke Kelas 3B, sampai lulus sekitar tahun 1950.

          Errentini tidak melanjutkan pendidikannya ke SMA tetapi ke KGB (Kursus Guru B dengan masa pendidikan setahun) yang lokasi sekolahnya sama dengan SMP Negeri Pati di Dosoman. Mengetahui hal itu, Kepsek M. Soegiono datang ke rumah Dosoman dan mencari pak Sarimo. Soegiono bertanya: “Mengapa kok tidak masuk ke SMA?” (waktu itu SMA baru saja dibuka sekolahnya di Pati). Dijawab: “Tidak tahu. Errentini memang bermaksud meneruskan pendidikannya di KGB.” Konon, pendirian KGB karena alasan minimnya jumlah guru SR (pasca pemberontakan PKI Madiun tahun 1948) yang tewas dibunuh dan terbunuh.

          Waktu itu KGB menerima siswa sebanyak 20 orang, yang sebagian besar berasal dari anak-anak lulusan SMP Jepara kelas 4. Siswa KGB mendapat ikatan dinas dengan gaji Rp. 100/bulan. Beberapa nama siswa KGB yang diingat oleh Errentini antara lain: Wasil, Mudasir (berasal dari Jepara), Nanik dan Tatik (berasal dari Surakarta, yang kost di Dosoman), Srinarsih dan Haryati (tetangga Dosoman), seorang anak perempuan (lupa nama) yang tewas ditabrak KA, Darsono (yang adalah paklik dari Errentini, asal Kedung Penjalin, Jepara) dan selebihnya lupa namanya.

          Errentini menyelesaikan pendidikannya di KGB pada tahun 1951. Waktu itu ada iming-iming bahwa jika lulus KGB dengan nilai terbaik, siswa bisa melanjutkan pendidikannya ke SGA/KGA di Semarang. Kenyataannya, meski Errentini lulus dengan nilai terbaik, tidak bisa melanjutkan ke SGA/KGA di Semarang karena ikatan dinas KGB dan di Karesidenan Pati kekurangan guru SR.

          Keadaan tersebut memaksa Errentini tidak bisa melanjutkan ke SGA/KGA dan sebagai gantinya mengajar di Sekolah Margo Mukti (setingkat SR untuk anak-anak jalanan) dan mengajar di kelas 4 (tetapi hanya 4 minggu) karena besluit untuk mengajar SR sudah turun dan diterima. Sesuai besluit, Errentini ditetapkan sebagai guru di SR Wedari Djaksa Pati (di sebuah kecamatan di dekat pabrik gula Trangkil). Errentini mengajar di SR Wedari Djaksa selama setahun sesuai ikatan dinasnya. Waktu itu kepala sekolah di SR tersebut adalah C. Setyoprajitno (suami kakak Errentini, Soemarwati).

          Tahun 1952, setelah menyelesaikan ikatan dinasnya setahun, Errentini memutuskan keluar dari pekerjaannya sebagai guru SR Wedari Djaksa.


Heru Wijatsih

Tanggal 18 Juli 1942 di Pati, lahirlah putri keempat pasangan Sarimo-Rabisah, dan diberi nama Heru Wijatsih. Mengapa diberi nama “Heru Wijatsih”? Karena waktu itu masa hera-heru (Jepang menjajah Nusantara mengalahkan Belanda). Dan ada “sih” (kasih) dari “ngawiyat” (dari surga). Tetapi mengapa tidak dinamakan Hera? (yang lebih cocok sebagai nama anak perempuan?) karena waktu itu Sarimo ingin memiliki anak laki-laki.... sehingga diberilah anaknya nama Heru dan bukan Hera. Yang memberi nama seperti itu adalah Slamet Ruspah (istri Yosafat Soepadmoardjo) mengingat si jabang bayi sudah seminggu sejak lahir belum diberi nama alias puput puser (sebab kesulitan mencari nama yang tepat).

No comments: